Minggu, 28 Oktober 2007

Saatnya mencari Benar dan Salah

Oleh : Khairul Fuadi*

Sabtu, 20-Oktober-2007, 10:18:09

Jika Anda memancing di laut, maka jangan Anda hitung jumlah ikan di laut. Tetapi hitunglah berapa jumlah ikan yang telah Anda dapatkan. Jika jumlah ikan di laut dan luasnya samudera yang Anda hitung, maka sesungguhnya Anda sedang bermimpi.
-Duplik Kuasa Hukum KPU KOTA Bengkulu-

INILAH sebuah kalimat penutup dari kuasa hukum KPU Kota pada lanjutan sidang kasus gugatan Pilwakot beberapa waktu yang lalu. Sebuah kalimat filosofis yang tidak cukup pendek, namun cukup lugas tersusun. Memiliki makna yang begitu dalam. Tetapi dengan pemahaman yang berbeda-beda. Ini bergantung di posisi mana kita akan memberi tanggapan. Sebuah fenomena menarik jika selalu mengamati perkembangan kasus gugatan terhadap KPU Kota yang dilancarkan oleh pihak Chalik-Arifin Daud pascahasil Pilkada akhir-akhir ini. Seperti yang sama-sama diketahui, baru saja kita melewati sebuah hajatan politik Kota dengan menghasilkan pasangan baru pada Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) untuk pertama kalinya.


Terlepas apakah semua proses dalam Pilkada itu dilakukan bersih atau tidak, apakah terjadi kecurangan atau tidak, dan apakah terjadi eksodus dan money politics atau tidak, biarlah proses hukum yang menyelesaikan. Tetapi jika semua masih belum mempercayai hukum sebagai sebuah media untuk menuntut kebenaran, tinggal hati nuranilah yang akan bermain. Dan mencari orang-orang yang berhati nurani akan menjadi sangat susah dicari pada saat semua telah menjadi Homo Homini Lupus, manusia satu bagai srigala yang siap menerkam bagi manusia yang lain. Begitu juga sebaliknya.


Menurut Anders Uhlin, dalam Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998,h.13, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan rakyat yang berlandaskan pada kontrol masyarakat dan kesetaraan politik. Kemudian, demokratisasi harus didefinisikan sebagai semakin meningkatnya penerapan pemerintah rakyat pada lembaga, masalah, dan rakyat yang sebelumnya tidak diatur menurut prinsip-prinsip demokrasi tersebut.
Jadi, definisi demokrasi tidak terbatas pada wilayah politik sempit. Tetapi meliputi demokratisasi di semua aspek kehidupan bermasyarakat. Di zaman sekarang, dalam sebuah pemerintahan selalu diliputi oleh sebuah kondisi serba dalam angkara dan tidak pasti. Dimana orangnya akan hanya mempermainkan peran-peran individu mereka, dengan meninggalkan kebaikan bersama. Seandainya-pun itu ada, hanya dalam performance atau penampilan saja yang seolah semua adalah demokrasi. Padahal, sama sekali tidak! Atau hanya selalu berada dalam indikasi-indikasi atau simbol-simbol demokrasi, tetapi secara substansial nilai itu masih jauh menganga.


Mejadi oposisi bukanlah hal buruk dalam sebuah kancah politik. Menjadi legowo pun menjadi sikap yang akan selalu dihormati dalam arena politik. Pertimbangan baik dan buruk selalu menyesuaikan antara tindakan dan tujuan. Bagi seorang politisi misalnya, tindakan yang baik adalah yang bisa mendatangkan kekuasaan. Sedangkan tindakan yang buruk adalah yang bisa melucuti/ mengurangi kekuasaan. Pragmatisme jelas mengontrol etika ini.
Dalam etika teleologis, mengampuni kejahatan kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh Suharto pada orde baru bisa dianggap baik karena dinilai dapat mengurangi potensi konflik yang bisa timbul jika para pendukung Suharto mengamuk.



Etika deontologis bersikukuh untuk mendasarkan semua pertimbangannya pada kriteria benar atau salah. Etika ini justru mencoba menetapkan secara tegas batas antara benar dan salah itu. Jika melingkupi ruang lingkup sosial, garis batas itu ditetapkan lewat sensus. Moralitas hukum adalah contoh dari etika deontologis. Jika moralitas hukum didasarkan pada etika teleologis yang memakai kriteria baik-buruk, maka batas antara mana yang benar dan mana yang salah dalam hukum bisa menjadi kabur. Dan akhirnya hukum pun tak bisa memberi kepastian.
Dalam ruang lingkup individual, kriteria benar adalah tindakan yang sesuai dengan seruan hati nuraninya, yang menyelaraskan antara kata dan laku dengan membela kaum lemah, tanpa sedikitpun dikontrol oleh ketakutan-ketakutan, baik ketakutan yang datang dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri.


Jika ingin menciptakan sebuah sistem yang bersinergis satu sama lain, maka haruslah ada pihak yang mengontrol semua itu. Ada pihak yang benar dan ada pihak yang salah. Bukan pihak yang baik atau buruk. Hanya sebuah pemerintahan yang dijalankan dengan benarlah yang akan membuktikannya. Bukan Baik atau Buruk Sekarang tinggal kita yang bisa menyikapi. Apakah akan memakai etika teleologis yang mempunyai kriteria baik-buruk atau memakai etika deontologis yang memakai kriteria benar-salah. Tetapi tetap nantinya untuk menjalankan sebuah pemerintahan kita harus bersandarkan pada benar-salah, bukan pada baik-buruk hasilnya. Hasil Pilwakot beberapa waktu lalu harusnya dapat menjadi sebuah pembelajaran yang harus kita sikapi dengan arif dan bijak.



Menjadi oposisi bukan utopia, menjadi pemimpin pun jangan lengah. Adalah tugas kita untuk terus mengamati dan memperhatikan, sesekali mengkritisi (bukan menghujat) kalau-kalau pemerintahan itu mencoba sesekali bertindak salah. Akhirnya sebuah kepemimpinan akan dinilai berhasil jika semua elemen dari tingkatan yang paling mendasar hingga tingkatan yang tertinggi menciptakan sebuah iklim politik yang kondusif untuk bersinergi dengan baik satu sama lain. Hanya satu yang harus kita coba tanamkan sekarang. Saatnya bukan(mencari) baik atau buruk, tapi benar atau salah.


* Penulis adalah mahasiswa FISIPOL Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Jogjakarta, Penggiat pada Prophetic Freedom Project Yogyakarta.

dimuat di JawaPos Group Network

1 Komentar:

Blogger The Geeks mengatakan...

salam kenal dari saya..
thank you :)

26 Februari 2014 pukul 23.44  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda