Minggu, 28 Oktober 2007

Budaya Konsumerisme di Kalangan Kita*

Dewasa ini budaya konsumtif seakan-akan telah menjadi satu identitas baru yang masuk dalam setiap lapisan struktur social masyarakat. Kebosanan atas budaya tradisional yang ridak dapat menyajikan gaya-gaya baru, miskinnya budaya tradisional akan inovasi baru, dan mungkin tingkat konvensionalitas budaya tradisional dalam fokus budaya bangsa kita menyebabkan menjangkitnya Budaya Popular.yang lahir seolah-olah untuk meneriakkan protes akan kekangan yang melingkupi budaya bangsa selama sekian abad. Ia lahir sebagai a new fresh style yang siap membuat babak baru dalam mozaik budaya bangsa.



Sikap konsumtif dalam hal ini lebih kepada perebutan citra-citraan, bagaimana sesuatu yang dicitrakan dapat mewakili posisi dan eksistensi kedirian kita dalam panggung ilusi tersebut. Tetapi semuanya kosong dan hampa akan makna yang sebenarnya, karena yang ada hanyalah ritualisme dan kesenangan belaka. Apakah itu berguna atau bermanfaat tidak lagi menjadi kalkulasi kehidupan kemanusiaanya. Hidup hanya sekedar objek arus massa dan tontonan semata. Karena kedirian mereka ada jika berada dalam gelombang arus tersebut, artinya saya ada jika saya memiliki HP yang bermerek terbaru. Dan saya ada jika saya duduk di ruang KFC atau Mc Donald,dan “ saya ada jika saya berpakaian seperti apa yang diiklankan oleh media massa”.(plesetan metode filsafat Descartes. Dan bukan saya ada karena saya berfikir, seperti metode filsfat yang pernah dicetuskan oleh Descartes.Pergeseran itulah yang terjadi dalam struktur nilai budaya yang kita anut selama ini. Yang ada bukan lagi produksi tetapi konsumsi, yang ada bukan lagi mencita tapi mengadopsi, yang ada bukan lagi realita tapi ilusi,yang ada bukan lagi fakta tapi kepalsuan dan seterusnya.


Kemajuan aspek informasi dan teknologi secara perlahan berperan dalam menentukan dan mempercepat jalannya budaya konsumtif dalam masyarakat kita. Logika yang bermain dalam media adalah menginformasikan yang belum diketahui dan yang belum ada di lingkungan kita. Dari sini kita tidak lagi mengenal batas-batas territorial dan geografis yang ada. Aktivitas yang dilakukan oleh Negara-negara timur secara langsung dapat diketahui oleh Negara-negara barat.Begitu juga halnya terhadap produksi-produksi komoditi,standar mode,gaya hidup dapat seketika diketahui media tersebut. Dan bahkan ukuran mode dan nilai bagus/baik itu adalah yang diiklankan dan ditampilkan oleh media. Pria tampan bukan lagi yang berkulit putih tetapi yang memegang HP,bermotor gede,atau mempunyai mobil dengan memakai parfum yang diiklankan oleh media. Dan wanita cantik bukan lagi mereka yang berpakaian kebaya, tetapi adalah mereka yang dapat mengikuti gaya telanjangnya para aktris-aktris dan gaya penampilan pemain iklan sabun,shampoo,dan sebagainya.



Dalam wujud nyata budaya konsumen menyingkirkan dan mengingkari tradisi-tradisi tabu yang selama ini dijalankan oleh masyarakat. Budaya konsumen memandang salah satunya dalam fashion, bahwa saat ini, tidak ada lagi fashion, yang ada hanyalah passion, tidak ada aturan, yang ada hanya pilihan. Setiap orang dapat menjadi siapa saja. Artinya Fashion lama dalam masyarakat dan agama telah dilanggar, sehingga terjadi perang dalam uniforitas, kejenuhan akan perbedaan yang mengakibatkan hilangnya arti..Konsumerisme telah menjadi ikon massa. Seolah yang satu ini memang tengah menemukan jiwa raganya pada abad ini.



Berkembangnya adagium tampil trendy,cantik dan modis ternyata telah mampu membunuh rasionalisasi ekonomi masyarakat kita. Ibu-ibu muda di kota sibuk senam aerobic, fitness, yoga yang kesemuanya berorientasi ke tubuh. Pelajar dan mahasiswa tersedot dengan butik-butik(distro), buku-buku yang seharusnya dijajar di rak bergeser menjadi tumpukan pakaian mini, baju you can seecelana modis,ikat pinggang ala militer dalam lemari. Lantas kepada siapakah tonggak kritisisme ekonomi ini diserahkan jika jumlah intelektual muda hanya sedikit, sedang jumlah yang nge-pop(banyak) seolah sekolah atau kuliah hanya rutinitas untuk mencari kenalandan ajang fashion show bukan menimba ilmu.Terus apa, siapa dan seperti apa identitas budaya bangsa kita?. Pada permukaan kita bangga hal ini sebuah indikator kemajuan dan modernitas. Tetapi sesungguhnya kita lebih menyukai yang primitif dan pra sejarah. Sebab di masa pra sejarah semua serba bebas,dimana manusia belum tersdukasi secara baik. Lantas mengapa harus membenci tradisionalitas? Tradisional saja belum, kita masih di wacana pra-sejarah dan mengapa selalu mengagung agungkan modernitas.Kita sadar dan harus realistis atas realitas, kita semua tidak akan mungkin menghindar dari semua ini (neokolonialisasi) yang sudah menjadi penyakit akut, bagikan virus-virus merusak sendi-sendi kebudayaan bangsa.



Dari sinilah perlu yang namanya sikap kritis dalam menjalani realitas kehidupan ini. Karena tidak semuanya bersifat netral dan bebas nilai, dalam konteks kebudayaan pun syarat akan kepentingan-kepentingan klas tertentu, yang tentunya kepentingan penguasa. Kearifan dan kebijaksanaan di dalam pluralitas budaya merupakan satu keharusan individu. Agar masing-masing kita sadar apa yang dilakukan dan sadar akibat yang didatangkan.

*Aerolhimura.co.nr

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda