Minggu, 28 Oktober 2007

CYBERCULTURE, TRANSFORMASI KEBUDAYAAN PASCARUANG, DAN BAYANG-BAYANG KEMATIAN SOSIAL

Fahd Djibran
Pemakalah Terbaik Pada PNMHII 18 di Universitas Padjajaran Bandung,November 2007

Khairul Fuadi
co.ass.presentation

Sebuah Introduksi
Dalam sepuluh tahun terakhir, pengguna internet di Indonesia meningkat tajam melebihi angka 15 juta user. Menurut hasil riset yang dilakukan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) jumlah pelanggan Internet di Indonesia pada tahun 1998 berjumlah 134.000 pelanggan. Dengan asumsi pemakai Internet adalah empat kali lipatnya, artinya jumlah user atau orang yang mengakses internet di seluruh Indonesia berjumlah 512.000 orang.
Peningkatan signifikan terus terjadi dalam setiap tahunnya. Hingga tahun 2005, pelanggan Internet meningkat tajam sampai 1.500.000 pelanggan. Dengan asumsi jumlah pemakai (user) adalah sepuluh kali lipatnya, APJII memperkirakan jumlah user internet di Indonesia pada tahun 2005 menembus angka 16.000.000 user[1].


Angka 16.000.000 user itu boleh jadi hanya sebuah perkiraan. Pada kenyataannya jumlah user internet di Indonesia bisa lebih rendah atau lebih tinggi. Tetapi, jika kita melihat fenomena menjamurnya warnet (warung internet) yang berada di hampir setiap sudut kota, hasil riset dan asumsi APJII boleh jadi mendekati kebenaran dan bisa dipercayai.
APJII menghitung, pertumbuhan internet—dilihat dari jumlah pelanggan dan pengguna—di Indonesia meningkat 75 persen setiap tahunnya. Artinya, jumlah pelanggan dan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2006 ini bisa mencapai angka 2.625.000 dan 28.000.000. Angka yang fantastis bukan?


Dengan angka-angka di atas, bisa kita bayangkan berapa jumlah account e-mail user asal Indonesia yang terdaftar, berapa jumlah groups yang terbentuk, berapa jumlah hompage yang dibangun, berapa jumlah blog, berapa jumlah account Friendster©, berapa jumlah chat history, berapa jumlah transfer kartu kredit untuk belanja online, dan seterusnya. Pasti memiliki record dalam jumlah yang luar biasa besar. Itu baru di Indonesia, bagaimana jika di seluruh dunia?
Perkembangan internet memang bergerak pesat. Cyberspace yang hanya sebuah khayalan dan ramalan dalam sebuah novel fiksi di tahun 1984 (Neuromancer, William Gibson) telah benar-benar lahir dan bahkan menawarkan realitas dan kebudayaan tersendiri—cyberculture.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa, kebudayaan ruang telah disubstitusi oleh kebudayaan pascaruang cyberspace. Muncullah cyberculture dengan segudang nilai yang diusungnya.


Kemudian, para peramal (futurolog) posmodern mulai menduga, bahwa, dunia sosial sudah diambang kematiannya. Ketika tradisi saling menyapa sudah berpindah ke wilayah cyber—saling mengirim smiley misalnya, ketika tradisi saling berkirim surat sudah berpindah ke internet, ketika forum-forum sudah berhijrah ke dunia digital, transaksi perdagangan, lobbying, negosiasi, dan seterusnya. Jika cyberculture ini begitu berpengaruh dalam dunia sosial, sejauh apakah pengaruhnya terhadap hubungan internasioanl—yang merupakan salah satu bagian di dalamnya?


Realitas Cyber di Sekeliling Kita
Dalam tiga dekade terakhir, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah dan sedang membawa umat manusia menuju transformasi kebudayaan pascaruang. Sebuah kebudayaan yang tidak lagi digerakkan oleh atom sebagai unit terkecil kehidupan, tetapi digerakan oleh bit (digital biner) sebagai struktur terkecil DNA informasi. Inilah genealogi kemunculan cyberspace yang bergerak secepat kilat berubah menjadi cyberculture yang menjadi kebudayaan alternatif di era posmodern [2].


Cyberculture adalah sebuah kebudayaan baru yang menawarkan “kesadaran pascaruang”, di mana seluruh aktivitas kebudayaannya dilakukan dalam dunia maya yang tanpabatas[3]. Term cyberculture sebenarnya baru ramai dibicarakan belakangan ini setelah Sherry Turkle dalam bukunya yang fenomenal Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet (1997) membahasnya dalam tataran cultural studies, setelah ia menganalisis hubungan antara manusia, komputer, dan kepribadian. Namun jauh sebelum itu, cyberspace yang membidani lahirnya cyberculture sebenarnya sudah dikenal cukup lama sejak tahun 1980-an.
Cyberspace-lah sebenarnya yang menjadi aktor utama dalam kemunculan “kesadaran pascaruang” ini. Cyberspace adalah sebuah dunia tanpa ruang. Dunia maya yang menghubungkan pikiran dan kehendak jutaan manusia melalui jaringan komputer yang digerakkan oleh partikel fundamental bernama bit. Bit merupakan unsur atomik terkecil dalam DNA informasi, disimbolkan dalam oposisi biner 1 dan 0 (berarti “hidup-mati”, “hitam-putih, “atas-bawah”, “real-unreal”, dan lainnya)[4].


Dunia tanpa ruang bernama cyberspace itu berada dalam sebuah jaringan yang kita kenal sebagai Internet. Sesuatu yang disebut William Gibson dalam novelnya Neuromacer (1984) sebagai “the Information Superhighway” atau “the Matrix”[5]. Di mana setiap orang bisa melakukan apa saja; dari bertukar surat melalui e-mail, bertransaksi jarak jauh yang menembus batas-batas teritorial negara, teleconference, telcommuting, sampai melakukan hubungan seks “virtual” melalui cybersex dalam virtual reality.
Fenomena inilah yang mengawali transformasi kebudayaan pascaruang. Sebuah kebudayaan maya (cyberculture) yang mengusung nilai-nilai alternatif yang sama sekali baru. Dalam era kebudayaan pascaruang ini, kita akan menyaksikan bagaimana kehidupan manusia berubah secara drastis. Tidak hanya dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam dunia sosial.
Kita melihat bagaimana transaksi ekonomi tidak lagi dilakukan face to fece melainkan dilakukan di depan layar monitor dengan memasukkan beberapa digit angka nomor kartu kredit, atau bagaimana karya Monalisa milik Leonardo Da Vinci tidak lagi hanya bisa dinikmati di Museum Louvre Paris tetapi di depan layar komputer di rumah kita. Bahkan teknologi cyberspace telah menawarkan sesuatu yang lebih fantastis, virtual reality; seperti ketika Anda bisa berjalan-jalan ke seluruh penjuru dunia untuk melihat-lihat pemukiman di Princenton atau iseng-iseng menengok Yacht milik Saddam Hussein (misalnya) dari kamar tidur kita dengan hanya menekan tombol mouse dan keyboard komputer melalui fasilitas Google Earth.
Kita mungkin berdecak kagum menyaksikan bagaimana cyberspace dan teknologi komputer memperlihatkan teknologi yang begitu canggih dan mutakhir. Hanya dengan kumpulan informasi dalam bit, kabel-kabel, telepon, satelit, jaringan, modem, server, dan alat-alat teknologi lain kita bisa memasuki sebuah ruang tanpa batas dan melakukan apa saja yang beberapa puluh tahun lalu dibayangkan oleh orang-orang sebelum kita sebagai mimpi yang mustahil.


Tetapi yang menarik untuk dibahas saat ini bukan sekedar kecanggihan teknologi informasi (cyberspace) saja. Bukan pula kabel-kabel, chip, atau jaringan yang berseliweran di sekeliling kita dan memiliki jalin kelindan yang kompleks dan rumit. Hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh adalah bagaimana transformasi kebudayaan pascaruang yang dibawa cyberspace itu telah menjadi penanda bagi kematian sosial.
Cyberspace dan cyberculture diam-diam telah menyanyikan kidung kematian bagi sosial. Kini kita tidak lagi menemukan manusia-manusia sosial yang memiliki kepedulian dan sensitivitas, kita juga tidak menemukan adanya hubungan yang baik antarmasyarakat dalam pertukaran kepentingan mereka dalam sebuah kebudayaan lokal, nasional, maupun global. Kita hanya melihat orang-orang saling berkirim surat (e-mail) namun tak pernah saling bertemu, orang-orang saling bertukar barang tetapi tak saling mengenal, dan lainnya.
Bayang-bayang kematian sosial telah diperlihatkan cyberculture ketika orang-orang lebih merasa hidup dan memiliki identitas di ruang sosial artifisial—dalam mailng list, chat forum, atau Friendster©—tidak dalam ruang sosial (social sphare) yang sesungguhnya.

“Dalam kematian sosial setiap orang akan sepenuhnya hidup di dalam ruang sosial artifisial, dan menjalankan segala aktivitas di dalamnya dalam wujudnya yang artifisial: bermain dalam kelompok permainan virtual, belanja lewat teleshoping, bertemu dalam teleconference, memuaskan nafsu di dalam cybersex, melakukan kejahatan digital (hacker), atau menghabiskan waktu dalam kuis-kuis televisi.[6]

Dalam dunia sosial, budaya beroperasi melalui serangkaian nilai yang disepakati bersama[7]. Dalam masyarakat dimana kebudayaan telah bertransformasi menuju kebudayaan pascaruang cyberspace, nilai-nilai yang disepakati bersama itu sudah tidak lagi ada. Ia digantikan oleh perang kepentingan tanpabatas yang setiap hari berseliweran dan saling mengungguli satu sama lain atau saling merusak satu sama lain. Maka muncullah istilah-istilah cyberspace yang—sebenarnya terjadi di dunia maya namun—mengganggu dunia nyata: hacking, hoax, spam, fraud, dan lainnya.
Ketika kita dituntut untuk meng-update antivirus setiap tiga minggu sekali agar data-data virtual kita terselamatkan, cyberspace telah benar-benar mengajak kita—dan seluruh umat manusia—untuk bertransformasi menuju kebudayaan pasca ruang dan bersama-sama menyanyikan kidung kematian sosial.
Ketika peserta forum diskusi menyurut karena berhijrah ke dalam chat forum di Internet, ketika pasar-pasar semakin sepi karena masyarakat mulai menggandrungi teleshoping, ketika semua mulai berpindah ke dunia cyber, kita akan bergerak menuju “kesadran pascaruang” sambil mendengar kidung kematian sosial yang tak henti-hentinya dinyanyikan.
Dalam situasi kematian sosial smacam ini, tidak menutup kemungkinan segala bentuk instrumen kehidupan yang berada di bawah kehidupan sosial—politik, seni, hubungan internasional, dan lainnya—akan turut terpengaruh. Dalam makalah ini, penulis lebih memfokuskan pada pengaruh kematian sosial ini terhadap dunia hubungan internasional. Baik itu hubungan internasional sebagai sebuah studi, tindakan, seni, atau aktor-aktor yang menjalaninya.

Melacak Sejarah Internet
Sebelum kita memahami lebih jauh tentang cyberculture dan pratanda transformasi kebudayaan pascaruang, ada baiknya kita menelusuri terlebih dahulu sejarah Internet yang mengawali lahirnya cyberspace di tahun 1984 yang menjadi cikal bakal munculnya era kebudayaan cyber paruh akhir abad ke-20.
Ada dua narasi besar ilmu pengetahuan yang berkontribusi signifikan pada kebudayaan manusia. Pertama, teori relativitas yang dikemukanan Albert Einstein yang berkontribusi besar pada penciptaan pesawat terbang dan bahan-bahan nuklir. Kedua, teori kuantum yang menolak determinisme (keserbapastian) teori relativitas. Teori kuantum ini pertama kali dirumuskan secara komperhensif oleh Werner Heisenberg.
Kedua teori tersebut memiliki dampak historis yang sangat luas dan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perjalanan kebudayaan umat manusia. Teori relativitas berujung pada penemuan bom atom yang menjadikan paruh kedua abad dua puluh sebagai arena peperangan antarnegara dan antarkebudayaan. Bahkan persaingan teknologi nuklir masih berkembang hingga saat ini.
Sedangkan aplikasi teori kuantum menghasilkan akselerasi teknologi informasi dan komunikasi, yang berujung pada tergelarnya Internet yang membongkar batas-batas antarnegara dan antarkebudayaan[8].
Catatan sejarah Internet dimulai pada 1969 ketika Departemen Pertahanan Amerika memutuskan melakukan riset dan eksperimen yang bisa memberi penjelasan ilmiah bagaimana sejumlah komputer bisa membentuk jaringan organik. Program riset ini dikenal dengan nama ARPANET (Advanced Research Projects Agency of Networking).
Pada 1970, sudah lebih dari 10 komputer yang berhasil dihubungkan satu sama lain sehingga mereka bisa saling berkomunikasi dan membentuk sebuah jaringan. Namun pada saat itu ARPANET hanya bisa beroperasi dalam satu gedung saja—atau satu tempat dalam jarak yang berdekatan. Untuk menghubungkan komputer-komputer dalam jaringan tersebut mereka menggunakan TCP/IP (Packet Swithing Comunication/Internet Protocol).
Tahun 1972, Roy Tomlinson berhasil menyempurnakan program e-mail yang ia ciptakan setahun yang lalu untuk proyek ARPANET milik Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Program e-mail ini dapat dioperasikan begitu mudah, sehingga langsung menjadi populer di kalangan masyarakat Amerika Serikat. Pada tahun yang sama, icon “@” juga diperkenalkan sebagai lambang penting yang menunjukan "at" atau "pada".
Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan meluas ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika, komputer tersebut menjadi anggota jaringan ARPANET. Pada tahun yang sama, dua orang ahli komputer Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah gagasan yang lebih besar, yang menjadi cikal bakal pemikiran internet. Untuk pertama kalinya Cerf dan Kahn mempresentasikan gagasan mereka di University of Sussex.
Tanggal 26 Maret 1976 menjadi tanggal bersejarah dalam cetatan perkembangan internat, ketika itu Ratu Inggris berhasil mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern.
Tanun 1977, sudah lebih dari 100 komputer yang bergabung bersama ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, menciptakan newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom menciptakan gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, di mana orang bisa saling menelpon sambil berhubungan dengan video link[9].
Perkembangan internet semakin melaju kencang. Komputer-komputer dari seluruh dunia mulai terhubung dengan jaringan internet, dari situ kebutuhan Internet Protocol (IP) mulai dipandang perlu. Pada tahun 1982 dibentuk Transmission Control Protocol (TCP) dan Internet Protocol (IP). Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan EUNET, yang menyediakan jasa jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan EUNET menyediakan jasa e-mail dan newsgroup USENET[10].
Sistem domain diperkenalkan pertama kali tahun 1984 untuik menyeragamkan alamat IP setiap komputer yang terhubung pada internet. Kini kita mengenai domain tersebut dengan istilah DNS atau Domain Name Service. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi 1000 komputer lebih. Setahun kemudian alamat anggota jaringan mulai menggunakan alamat dengan akhiran .com. Sistem alamat yang serba praktis ini langsung menggelumbungkan jumlah komputer yang tersambung dengan jaringan internet. Pada 1987 jumlah komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat menjadi 10.000 lebih.
Istilah chating diperkenalkan oleh Jarko Oikarinen dari Finland sebagai obrolan antarkomputer yang terhubung dengan jaringan pada tahun 1988, seiring berhasil ditemukannya sistem IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, jumlah komputer yang saling berhubungan kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer kini membentuk sebuah jaringan bersama yang melampaui batas-batas antarnegara bahkan antarbenua.

Tahun 1990 adalah tahun yang paling bersejarah bagi catatan perkembangan Internet, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang bisa menjelajah antara satu komputer dengan komputer lainnya yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web.
Dua tahun kemudian, komputer yang saling tersambung dan membentuk jaringan sudah melampaui angka 1.000.000 komputer, dan di tahun yang sama muncul istilah "surfing the internet" untuk mengistilahkan aktivitas menjelajahi dunia Internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh menjadi 3.000 alamat halaman (page), dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia berubah dengan cepat, di tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga menjadi tahun kelahiran Netscape Navigator 1.0. Selain itu, Pizza Hut tercatat sebagai perusahaan pertama yang menerima dan melayani order pizza secara online[11].
Setahun kemudian internet sudah menjadi jalur di mana suara, gambar, bisa streaming sekaligus. Untuk menikmati lukisan Andi Warhol, Anda hanya tinggal duduk santai di depan monitor Anda di Indonesia. Tahun 1996 transaksi perdagangan di internet sudah mencapai satu milyar dollar AS. Tahun 1997 situs internet sudah melewati 1,2 juta. Tahun 1998, situs internet tumbuh menjadi 4,2 juta, dan nama domain yang terdaftar sudah melewati angka dua juta. Tahun 2000 situs internet sudah melewati 21,1 juta.
Sampai saat ini Internet sudah berkembang kian cepat. Istilah cyberspace sebenarnya sudah diperkenalkan William Gibson pada tahun 1984 sebagai metafor bagi Internet. Pada saat itu, Gibson yang penulis buku-buku science fiction, menggambarkan sebuah realitas maya (virtual reality) yang mampu menandingi realitas nyata. Di dalamnya orang-orang bisa melakukan hal-hal yang serupa dengan hal-hal yang dilakukan di dunia nyata (simulation). Mulai dari berkirim surat, gambar, suara, atau video, melakukan transaksi perdagangan jarak jauh (teleshopping), melakukan kejahatan digital (hacking), sampai melakukan hubungan seks (cybersex).
Abad 21 telah menjadi abad baru terbukanya realitas maya (virtual reality) cyberspace yang siap menggantikan realitas nyata. Kebudayaan-kebudayaan (dalam arti luar) tengah bergerak dari kebudayaan ruang menuju kebudayaan pascaruang. Di situlah, cyberculture menjadi kebudayaan alternatif atau bahkan kontrakultura dengan segudang nilai alternbatif yang diusungnya siap menggantikan kebudayaan lama yang kaku dan rigid.

Kemunculan Cyberculture
Kapankah sebenarnya cyberculture mulai menjadi kebudayaan alternatif di tengah masyarakat modern? Tak ada yang tahu pasti jawabannya. Sebagai sebuah kebudayaan baru cyberculture muncul dan terbentuk dari proses asimilasi dan hibridasi antara kebudayaan lama dan kebudayaan Internet (internet culture). Ketika masyarakat memasuki tahun-tahun gandrung internet di akhir abad ke-20, cyberculture telah muncul sebagai budaya tandingan (kontra kultura) bagi kebudayaan lama.
Untuk membantu kita memahami cyberculture rasanya kutipan berikut akan sangat membantu pemahaman kita:

“Since the boundaries of cyberculture are difficult to define, the term is used flexibly, and its application to specific circumstances can be controversial. It generally refers at least to the cultures of on-line communities, but extends to a wide range of cultural issues relating to "cyber-topics", e.g. cybernetics, computerization, the digital revolution, and the perceived or predicted cyborgization of the human body. It can also embrace associated artistic and cultural movements, such as cyberpunk and transhumanism. The term always incorporates at least an implicit anticipation of the future.
Basically, it can be said that cyberculture encompasses the human-machine social and cultural levels involved in what is popularly known as cyberspace (a neologism invented by the cyberpunk author William Gibson). It is a wide social and cultural movement closely linked to advanced information and communication technologies (ICTs), their emergence and development and their rise to cultural prominence between the 1960s and the 1990s.”[12].

Cyberculture memang merupakan term yang fleksibel, meskipun sulit didefinisikan, namun ada beberapa catatan penting yang bisa mengantarkan kita menuju pemahaman yang sahih mengenai cyberculture.
Pertama, cyberculture adalah budaya yang dianut oleh komunitas online atau sekolompok orang yang biasa dan sering terhubung dengan Internet. Pada tataran ini, cyberculture menjadi sebuah pola dan wadah dimana nilai-nilai, norma-norma, habitus[13], dan ide-ide tertentu dianut oleh para pengikutnya (komunitas online tadi). Di sini cyberculture memiliki cakupan yang sangat luas. Hal ini sesuai dengan definisi kebudayaan yang pertama, bahwa kebudayaan merupakan kumpulan norma-norma, nilai-nilai, ide-ide, dan cara melakukan sesuatu di masyarakat tertentu.
Kedua, cyberculture bisa jadi merupakan sebuah gerakan kebudayaan atau semacamnya yang bisa dipelajari dan diteliti. Bukan semata-mata sesuatu yang abstarak yang hanya diketahui dan dipahami masyarakat yang menjalankannya. Di sini cyberculture sudah masuk dalam kategori cultural studies.
Dalam wilayah cyberculture, cyberspace didekati melalui kritik-kritik yang lebih luas (seperti dikatakan oleh para penafsir posmodern). Karenanya cyberspace dan cybercultuere bisa didekati melalui pendekatan ekonomi, politik atau apapun tidak hanya teknologi dalam cultural studies. Bahkan lebih jauh Krista Scott beranggapan bahwa cyberculture adalah soal ideologi kekuasaan, dengan alasan bahwa revolusi digital sebenarnya merupakan dialektika kekuasaan[14]. Rasanya, inilah yang disebut-sebut Michael Focoult tentang tiadanya kekuasaan yang terpusat di era posmodern[15], sebab dalam dunia cyberspace penguasa atau kekuasaan ada di tangan pemegang bit informasi terbanyak. Siapapun itu.
Mengenai hal ini Sherry Turkle mungkin bisa disebut sebagai pelopor studi cyberculture dalam cultural studies. Ia meneliti hubungan antara manusia, komputer dan kepribadian dalam Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet (1995). Turkle mengatakan bahwa cyberculture dan cyberspace merupakan metanaratif terbesar dalam dunia modern[16]. Ia menggambarkan bahwa betapa dulu komputer hanyalah kisah impian manusia bagaimana agar suatu pekerjaan bisa dilakukan secara efektif dan efisien. Namun saat ini, di era posmodern, komputer telah bergerak secepat loncatan bit dalam chip-chip menjadi sebuah alat yang membentuk “budaya simulasi”[17] yang menawarkan virtual reality yang tak hanya sekedar fantasi.
Sisi lain yang menarik dikaji dalam cyberculture adalah mengenai identitas. Dalam dunia simulasi cyberspace identitas dapat mencair dan menjadi multi-identitas. Internet adalah contoh yang paling konkret dan komperhensif tentang multi-personalitas. Cyberspace memungkinkan pemakainya untuk menggunakan identitas yang diingininya. Seseorang bisa dengan mudah mengasumsikan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan[18]. Bahkan, dalam dunia internet seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas. Mungkin Anda memiliki tiga atau lima alamat e-mail dengan identitas yang berbeda-beda.
Ketiga, cyberculture bisa memiliki core yang jauh lebih menarik. Yaitu dunia virtualitas bisa membentuk starata-starata sosial tertentu dalam dunia cyber. Parameter tingkatan-tingkatan masyarakat cyber (cyber-society) itu diukur berdasarkan jumlah informasi yang dimiliki. Semakin banyak informasi yang dimiliki suatu komputer atau user pemilik komputer, ia memiliki tingkatan sosial yang lebih tinggi dalam dunia virtualitas. Computer server yang menyimpan jutaan bit informasi memiliki tingkatan sosial cyber yang lebih tinggi dibandingkan komputer user biasa yang mengakses data dari komputer server.
Inilah cyberculture, ketika budaya lama telah bertransformasi secara hampir-sempurna ke dalam dunia cyber. Entitas sosial apalagi yang tidak Anda temukan dalam cyberspace?
Cyberspace memiliki masyarakat dalam hompage, milis-milis, groups, blogger community, Friendster©, chat forum dan lainnya. Cyberspace memiliki habitus, ide-ide, hukum-hukum, norma-norma dalam URL Agreement, Page License, atau lainnya. Cyberspace memiliki gaya hidup (e-commerce, teleshopping, atau lainnya) dan media komunikasi (teleconference, telcommuting, web cam, atau lainnya). Jika itu semua merupakan syarat dari terbentuknya sebuah budaya, cyberspace sudah memiliki dan memenuhi syarat-syarat itu secara hampir-sempurna. Apa lagi? Jadi apakah cyberculture itu ada, atau hanya sebuah metafor yang berlebihan? Pergilah menuju warnet untuk sekedar chating atau berkirim e-mail, Anda akan merasakan bahwa cyberspace telah menjelma kebudayaan.

Realitas Virtual (Virtual Reality)
Setelah mengangguk setuju bahwa cyberculture benar-benar ada, sampailah kita pada pernyataan kaum humanis bahwa cyberspace hanyalah realitas semu[19]. Jika begitu, adakah cyberculture merupakan sebuah kebudayaan semu yang absurd dan tak berefek apa-apa pada kehidupan nyata?
Ada dua analisis yang bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, kita menganalisis realitas keruangan cyberspace dan, kedua, dengan mengaji dan menelaah virtualitas yang ditawarkan cyberspace.
Analisis pertama bisa kita lakukan setelah menelaah realitas itu sendiri. Dalam Republik[20], Plato mengemukakan sebuah alegori gua yang sangat menarik untuk memahami realitas. Alegori tersebut menggambarkan sekelompok orang yang terperangkap di dalam gua bawah tanah dan mendapati kaki dan leher mereka terbelenggu sejak kecil sehingga tak pernah bisa kemana-mana. Bahkan mereka tak dapat menoleh ke belakang karena leher mereka terpasung. Artinya, mereka hanya bisa melihat ke dapan. Ada sebuah api unggun yang terletak beberapa jarak di belakang mereka dan memantulkan cahaya samar ke dinding tempat mereka melihat. Di hadapan para tawanan tadi, cahaya memantulkan bayang-bayang “seperti pertunjukan wayang”. Di antara api dan tawanan tersebut ada orang-orang yang mengangkut beban dan merefleksikan segala sesuatu yang membayang pada dinding gua[21].
Suatu ketika, seorang tawanan terbebas dari belenggu. Dia bergegas berdiri dan menoleh ke belakang melihat cahaya yang menyilaukan, ia juga melihat orang-orang yang mengangkut beban tadi dalam ujud yang sesungguhnya. Awalnya ia bingung membedakan antara “kenyataan” yang sedang ia lihat dengan bayang-bayang di dinding gua yang bertahun-tahun ia yakini sebagai “kenyataan”. Ternyata selama ini ia salah menganggap bayangan di dinding gua sebagai “yang nyata” daripada benda-benda yang kini dilihatnya langsung. Lalu ketika tawanan yang terlepas itu bergegas ke luar gua, ternyata ia melihat cahaya yang lebih menyilaukan dari sekedar api, matahari. Ia pun menyadari bahwa mataharilah penyebab pergantian musim dan rangkaian tahun.
Alegori itu menggambarkan apa yang disebut para filsuf sebagai “hierarki realitas”. Realitas terendah—dalam alegori itu—adalah bayang-bayang yang terpantul dari cahaya api, realitas kedua adalah cahaya api dan benda-benda yang memantulkan bayangan, dan realitas tertinggi adalah caya matahari yang lebih menyilaukan.
Ketika tawanan terlepas tadi kembali pada tawanan-tawanan yang yang masih terpasung dan menceritakan realitas sejati yang baru saja ia lihat, para tawanan yang masih terpasung justru tak mempercayainya. Dalam pikiran mereka (para tawanan terpasung), realitas adalah apa yang mereka lihat selama ini, menjadikan mereka bagiannya, dan mereka yakini.
Hampir serupa dengan alegori tadi, Jalaludin Rumi memiliki lain yang sama menariknya.

“Apabila ada yang mengatakan kepada janin di rahim, “Di luar sana ada sebuah dunia yang teratur. Sebuah bumi yang menyenangkan, penuh kesenangan dan makanan, luas dan lebar. Gunung, lautan dan daratan, kebun buah-buahan mewangi, sawah dan ladang terbentang. Langitnya sangat tinggi dan berbinar, sinar mentari dan cahaya bulan serta tak terkira banyaknya bintang. Keajaibannya tak terlukiskan: mengapa kau tetap tinggal, mereguk darah, di dalam penjara yang kotor lagi penuh penderitaan ini”
Janin itu, sebagaimana layaknya, tentu akan berpaling tak percaya sama sekali; karena yang buta tak memiliki imajinasi. Maka, di dunia ini, ketika seorang suci menceritakan ada sebuah dunia tanpa bau dan warna, tak seorang pun di antara orang-orang kasar yang mau mendengarkannya: hawa nafsu adalah sebuah rintangan yang kuat dan perkasa. Begitupun hasrat janin akan darah yang memberinya makanan di tempat yang hina merintanginya menyaksikan dunia luar, selama ia tak mengetahui makanan selain darah semata.”[22]

Kedua ilustrasi tersebut mempunyai keserupaan dalam menggambarkan “hierarki realitas”. Bahwa selama ini, pemahaman orang terhadap realitas adalah apa yang mereka lihat, apa yang mereka rasakan, dan apa yang mereka yakini. Dunia yang sedang kita diami sekarang, adalah realitas. Karena kita lihat, kita rasakan, dan kita menjadi bagian di dalamnya, karenanya kita yakini. Tetapi apakah jika ada orang lain yang pernah pergi ke akhirat atau alam “lain” dan menceritakan “realitas lain” yang baru saja dia lihat, apakah kita akan mempercayainya? Tidak, tentu saja seperti tawanan-tawanan terpasung dalam alegori gua Plato, kita justru akan menertawakannya.
Jika kita kaitkan permasalahan “hierarki realitas” ini pada dunia cyber, orang-orang yang tak pernah terlibat langsung dan memasuki secara penuh “realitas cyber” sama halnya dengan para “tawanan terpasung” yang tidak mempercayai “realitas cyber” itu sebagai “realitas yang lain”.
Perjalanan ruang dan waktu telah memaksa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk bergerak cepat takterbendung. Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi tadi menawarkan “realitas lain” yang terdapat di dalam dunia simulasi komputer—seperti cyberspace—muncullah apa yang disebut dengan “dilema realitas”. Kita masih bingung dan mempertanyakan apakah dunia simulasi (simulation) dan simulcra[23] (jamak: simulacrum) yang harus kita percayai sebagai “realitas yang lain”, sementara “realitas yang lain” itu adalah sesuatu yang sebelumnya kita anggap tak nyata (non-real).
Jika kita lihat, sesungguhnya cyberspace sebagai “realitas yang lain” itu bukan sekedar merupakan realitas semu dan absurd. Ia hampir menyerupai realitas nyata yang alamiah. Dalam dunia cyber, kita bisa melakukan apa saja yang selama ini kita lakukan di dunia nyata, kita bisa memasukinya, dan kita tak bisa membantahnya memiliki instrumen-instrumen penting yang layak disebut realitas.
Absurditas cyberspace sebagai realitas semu yang dikumandangkan para humanis ternyata hanya menjadi kekhawatiran yang berlebihan akan matinya realitas nyata yang kita jalani sekarang (seperti para tawanan yang marah besar ketika tawanan terlepas memberitahukan realitas yang lain). Bahkan, lebih jauh, para pemikir posmodern seperti Jean Baudrillard, Lacan, Derrida, Negroponte dan lainnya meyakini bahwa kemunculan dunia simulasi dalam cyberspace bisa jadi merupakan era kematian realitas atau posrealitas (post-reality)[24]. Dimana, dunia realitas baru tersebut melukiskan sebuah metamorfosis yang dialami manusia, dari apa yang disebut sebagai kondisi “realitas”, ke arah apa yang disebut “posrealitas”.
Kondisi posrealitas adalah kondisi, yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas itu sendiri dilampaui, dalam pengertian diambil alih oleh subsitusi-substitusinya, yang diciptakan secara artifisial lewat ilmu pengetahuan, teknologi dan seni mutakhir, yang telah menghancurkan asumsi-asumsi konvensional tentang apa yang disebut “yang nyata” (the real)[25].

Jadi apakah realitas cyberspace masih merupakan realitas yang semu dan absurd, dan karenanya melahirkan cyberspace yang semu dan absurd pula? Padahal cyberspace telah secara telak menjadi substitusi bagi realitas nyata, dan karenyanya cyberspace pun sebenarnya telah mengambil alih jatah kebudayaan nyata.
Mengenai hal ini kaum humanis memiliki argumen lain bahwa, ada yang disebut sebagai realitas alamiah (natural reality) yaitu dunia dengan realitasnya yang sedang kita jalani sekarang, dan realitas buatan yang dibuat manusia dengan sejumlah akselerasi ilmu pengetahuan dan teknologi—seperti cyberspace. Untuk menjawab argumentasi ini, analisis kedua, mengenai virtualitas bisa menjawabnya.
Secara definitif virtualitas berarti citra (image) atau ruang yang tidak nyata tapi tampak (that is not real but appears to be). Cyberspace atau internet, televisi, dan telepon bisa dikategorikan dalam virtualitas ini. Realitas virtual adalah ruang yang ada ketika kita sedang bertelepon: ia bukan ruang tempat kita duduk atau tempat orang yang kita ajak berbicara mengangkat teleponnya, tetapi sesuatu yang berada diantaranya (somewhere in between). Demikian juga cyberspace, pertemuan bersama dalam sebuah groups di internet bukanlah tempat di mana setiap orangnya mengirimkan pesan, tetapi sebuah ruang di antara mereka yang menghubungkan satu dengan lainnya.
Dalam estetika neo klasik, virtualitas dipahami sebagai transformasi ruang dari realitas “eksternal tiga dimensional” ke dalam dunia “internal polidimensi”. Ia adalah pengalaman Sophie Amundsen ketika menerima surat dari sang kolonel kemudian tiba-tiba merasa berada di Roma pada zaman Yunani kuno[26].
Pada abad ke-19, pengertian virtualitas bergeser dari ruang mental yang murni kepada ruang arsitektur virtual[27]. Seperti ketika Anda menikmati perjalanan keliling dunia ketika kita menikmati fasilitas Google Earth di internet. Tetapi hal di atas masih meletakkan penglihat dalam posisi pasif, tidak ada visi tentang gerak dan mobilitas. Baru setelah gambar bergerak (film), video streaming dan teleconference ditemukan, pengertian virtualitas menjadi lebih identik dengan gerak, sesuai dengan cita rasa modernitas. Inilah realitas virtual yang sekarang ini kita alami dalam film dan televisi.
Baru pada paruh kedua abad ke-20, teknologi komputer ternyata menunjukkan kemampuannya untuk menciptakan realitas virtual yang sebelumnya tidak terbayangkan dan belum pernah ditemui dalam bentuknya yang lama. Komputer yang canggih, yang terkoneksi dengan internet, sekarang ini telah memiliki kemampuan antarmuka (interface) yang memungkinkan pemakai untuk berkomunikasi dan memasuki sebuah dunia visualisasi yang tidak bisa dialami pada pengalaman dunia tiga dimensional dalam kehidupan nyata.
Lihatlah bagaimana virtualitas telah menjadi bukti yang sangat kuat bahwa realitas telah bergeser menuju posrealitas. Tidak ada lagi alasan untuk menyangkal bahwa cyberspace telah menjadi substitusi yang serius pada pemahaman kita tentang realitas yang konvensional. Lalu apakah realitas cyberspace memberikan efek signifikan pada kehidupan nyata atau pada kehidupan sosial? Cobalah setahun atau dua tahun hidup tanpa televisi, telepon, radio, atau internet, Anda akan menemukan bahwa betapa realitas cyber dan virtualitas memiliki efek signifikan yang sangat besar bagi kehidupan nyata. Atau, dalam contoh yang lebih sederhana, bisakah Anda tidak meng-update antivirus komputer Anda selama satu tahun sementara pekerjaan Anda menuntut data-data di komputer Anda aman. Tentu tidak, realitas cyber itu akan memaksa Anda untuk merasa khawatir atau stres, lalu Anda akan melangkahkan kaki Anda untuk pergi meg-update antivirus dan merogos sejumlah uang untuk melakukannya.

Sebuah Transformasi Menuju Kebudayaan Pascaruang
Berdasarkan sejumlah penegasan terhadap keberadaan “realitas lain” seperti kita bahas di atas, saat ini umat manusia akan dan sedang bertransformasi menuju kebudayaan pascaruang. Kebudayaan pascaruang adalah jelmaan cyberculture yang mengancam kematian sosial. Dimana para pelaku kebudayaan tersebut tidak lagi hidup di ruang-ruang sosial yang nyata tetapi di ruang-ruang maya internet.
Kebudayaan pascaruang adalah metafor yang diberikan Mark Soluka (2000) tentang cyberspace dan cyberculture. Soluka berpendapat bahwa cyberspace tidak hanya melahirkan cyberculture sebagai sebuah kebudayaan yang digerakkan struktur-struktur fundamental bit (biner 0-1) dalam lautan informasi. Ia lebih jauh melahirkan “kesadaran pascaruang” yang akan membawa umat manusia untuk bertransformasi menuju kebudayaan pascaruang[28].
“Kesadaran pascaruang” ini adalah ketika manusia tidak lagi hanya memiliki kesadaran yang berada dalam wilayah-wilayah yang terdistorsi dan terbatas ruang, tetapi berpetualang jauh di dalam ruang tanpa batas, ruang tanpa ruang (cyberspace tadi). “Kesadaran pascaruan” ini memiliki efek signifikan terhadap kehidupan nyata di ruang yang nyata. Soluka mendeskripsikannya demikian:

“Kesadran pascaruang yang digerakkan virtual mesin ini, membuat pengalaman langsung dianggap sebagai iblis dan pengalaman otentik telah menjadi sesuatu yang usang. Konsep-konsep seperti "apakah manusia itu?" dalam sekejap lenyap ditelan real-virtual. Ketika kebutuhan akan fisik telah sirna, maka yang tersisa adalah kesadaran yang ter-upload ke dalam cyberspace dan bersemayam dalam ekologi elektronik.”[29]

Kesadaran pasca ruang muncul ketika kesadaran manusia ter-upload ke dalam cyberspace dan bersemayam dalam ekologi elektronik. Efek signifikan yang ditimbulkan “kesadaran pascaruang” ini adalah hilangnya kesadaran-kesadaran ruang dan kesadaran sosial. Sebab, manusia akan bergerak menuju kesadaran yang memosisikan dirinya sebagai bagian dari dunia cyber dan dan “merasa lebih hidup” di dalamnya ketimbang dalam ruang-ruang nyata. Kesadaran sosial juga akan hilang sebab manusia, melalui kesadarannya, akan tersedot menjadi salah satu entitas dalam ekologi elektronik.
Kesadaran pascaruang yang bergerak menuju kebudayaan pascaruang ini terlihat jelas ketika seseorang mampu berjam-jam “mencari teman” dalam Friendster© dan merasa senang ketika ada invite atau meng-add account lain sebagai teman. Dia akan merasa bangga memiliki ratusan teman dalam Friendster© meskipun ia hanya memiliki segelintir teman di dunia nyata.
Inilah bahaya “kesadaran pascaruang” dan transformasi kebudayaan pascaruang. Seseorang akan rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencari teman di hadapan monitor komputer sementara ia tak pernah benar-benar “mencari teman” di keseharian nyata. Hal ini pun sekaligus menjadi pembeda yang cukup serius antara cyberculture dan kebudayaan pascaruang.
Cyberculture—dalam pengertian yang sudah kita bahas di atas—masih memiliki batas-batas yang bisa memisahkan ruang nyata dan ruang maya. Seorang penggila mailing list, misalnya, masih memiliki kesadaran ruang sebab mailing list tersebut digunakan untuk kepentingan kehidupan sosialnya—misalnya untuk kelancaran kerja, tambahan informasi, dan lainnya.
Tetapi, kebudayaan pascaruang memaksa seseorang untuk total memasuki ekologi elektronik. Mereka tidak lagi memikirkan “apa efek/manfaat yang akan dibawa bagi kehidupan sosial?” ketika surfing di internet, mereka sudah tidak memiliki batasan-batasan yang baik. Mereka memasuki dunia cyber hanya untuk menikmati gambar-gambar di situs-situs telanjang, misalnya, sambil melupakan realitas sosial ketelanjangan itu. Mereka bermain game online, misalnya, sambil melupakan tugas-tugas dan tanggung jawab sosial lain di ruang nyata.
Kesadaran pascaruang ini sudah mulai menjamur di kalangan para neters (sebutan untuk para penggila internet). Kesadaran pascaruang ini melahirkan generasi-generasi muda yang menghabiskan seluruh waktunya di chatroom, misalnya, seperti marak terjadi di Inggris. Atau anak-anak yang menghabiskan waktunya di ruang-ruang multiplayer game station (di Indonesia gejala ini sudah sangat marak).
Meski secara lamban, namun pasti, “kesadaran pascaruang” ini akan membawa manusia bertransformasi menuju kebudayaan pascaruang. Kebudayaan pascaruang sudah benar-benar telak berlangsung ketika seseorang bisa menangisi kematian karakter game online ragnarok, misalnya, tetapi tak bergeming mendengar kabar kematian tetangganya sendiri. Atau ketika seseorang merasa tertekan sampai stres ketika account e-mail-nya disusupi spam atau virus, tetapi tak bergeming ketika teman sekerja atau saudaranya mengalami maslah.
Inilah yang oleh para pengaji posmodern diramalkan sebagai pososial atau era kematian sosial. Ketika kesadaran soial telah berhijrah ke dalam dunia virtual, ketika ruang-ruang sosial natural disubstitusi oleh ruang-ruang sosial


Penutup: Pososial dan Bayang-bayang Kematian Sosial

“Berbagai realitas tandingan (counter reality) yang tercipta di dalam berbagai bentuknya (televisi, internet, handphone) kini hadir secara bersamaan dengan realitas yang sebenarnya, yang pada akhirnya mengaburkan batas antara keduanya—inilah ruang pososial. Ruang pososial adalah sebuah ruang sosial, yang di dalamnya berbagai prinsip, model, atau bentuk aktivitas sosial telah melampaui prinsip, model, dan bentuk aktivitas-aktivitas yang natural, yang kini diambil alih oleh wujud artifisial dan virtualnya.”[30]

Kematian sosial telah menjadi bayang-bayang yang mengerikan bagi para sosiolog abad ini[31]. Cyberspace dan cyberculture yang memaksa manusia memasuki “kesadaran pascaruang” semakin memperjelas bayang-bayang kematian itu. Aktivitas sosial berupa sapaan, obrolan, pertemuan masal, ritual keagamaan bersama[32], telah bertransformasi menuju wilayah-wilayah cyber.
Prinsip, model, dan bentuk aktivitas sosial natural kini telah berpindah dan tersubstitusi oleh prinsip, model, dan bentuk aktivitas sosial artifisial. Berbagai aktivitas publik dari tamasya, belanja, hiburan, sampai demonstrasi, protes, dan debat, kini telah beralih menuju dunia virtual.
Maka bukan mustahil jika ramalan para futurolog dan pemikir posmodenisme akan menjadi kenyataan, bahwa, dua puluh atau luma puluh tahun lagi tak akan tersisa lagi ruang-ruang sosial tanpa simulasi virtualnya[33], membuat orang-orang akan lebih nyaman duduk berjam-jam mengikuti forum diskusi internet daripada menghadiri seminar di ruang-ruang publik, berbelanja secara online daripada harus mengantri di pasar atau berdesakan di mall-mall, atau beribadah di depan layar monitor menemukan diri dalam spiritualitas cyber daripada harus melangkahkan kaki ke mesjid[34].
Seperti kita ketahui, persoalan mengenai terbentangnya lautan bit informasi dalam cyberspace berefek panjang pada terbukanya cyberculture yang sarat dengan nilai-nilai (yang mengancam kematian sosial) dan bersifat terbuka. Dalam suatu kebudayaan yang dianut secara global (cyberspace) terbukanya jaringan, informasi dan nilai menimbulkan kelemahan kontrol sosial (dan moral) di dalamnya. Keterbukaan yang tanpa kontrol dalam dunia cyber dan kebudayaan cyber ini akan menggiring anarkisme, yang dapat membawa manusia pada situasi chaos. Ketika di dalam ruang sosial artifiasial (cyberspace) telah sama sekali hilang kontrol sosial (oleh institusi pemerintah, undang-undang, agama, atau masyarakat) maka yang terbentuk adalah semacam kematian sosial[35].
Oleh karena itu, saya menyarankan riset-riset mengenai cyberspace dan cyberculture tetap dan semakin giat dilakukan dengan harapan pengetahuan tentang hal tersebut dapat berkontribusi pada kemaslahatan dunia sosial bersama. Riset-riset yang dihubungkan pada dilakukannya kontrol sosial (oleh institusi pemerintah, undang-undang, agama, atau masyarakat) rasanya sangat penting dilakukan mengingat ruang sosial artifisial begitu terbuka dan netral. Karenanya sangat potensial dimasuki nilai-nilai negatif yang akhirnya menjurus pada kejahatan-kejahatan digital; pornografi, hacking, fraud, hoax, dan lainnya.
Akhirnya, saya menyarankan riset dan kajian mengenai cyberspace dan cyberculture ini lebih digiatkan dalam ruang-ruang diskusi kecil atau bahkan seminar-seminar besar, setidaknya demi kemajuan dunia intelektual Indonesia.


Kepustakaan
Jean Baudrillard, 1983, In the Shadow of Silent Majorities, Or the End of Social, and Other Essays, New York, Semiotex(e).
Jeff Zalesky, 1999, Spiritualitas Cyberspace, Bandung, Mizan.
Jim George, 1994, Discourse of Global Politics: A Critical (Re)Introduction to International Relations, Boulder, Colorado, Lynne Rienner Publisher.
Keith Ward, 2003, Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu: Argumen bagi Keterciptaan Alam Semesta, Bandung, Mizan.
Mark Soluka, 2000, Ruang yang Hilang: Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan, Bandung, Mizan.
Nicholas Negroponte, 1998, Being Digital, Bandung, Mizan.
Sherry Turkle, 1997, Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet, Simon & Scuster.
Yasraf Amir Piliang, 2004, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Yogyakarta, Jalasutra.


[1] Berdasrkan laporan data statistik APJII tahun 2005. Melalui http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php?lang=ind diakses tanggal 29 September 2006.

[2] Lihat Nicholas Negroponte, 1998, Being Digital, Bandung, Mizan.
[3] Lihat Mark Soluka, 2000, Ruang yang Hilang: Pandangan Humanis tentang Budaya
Cyberspace yang Merisaukan, Bandung, Mizan.
[4] Merujuk pada pemahaman semiotika Sausurrean (Ferdinand de Sausurre) mengenai oposisi biner dan logika angka binair dalam matematika.
[5] Amradani, 2002. Cyberculture. Melalui http://www.kunci.or.id/teks/02cyber.htm diakses tanggal 28 September 2006.
[6] Lihat Yasraf Amir Piliang, 2004, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Yogyakarta, Jalasutra. Hal. 96.
[7] Lihat Richard Osborne dan Borin Van Loon, 1999, Mengenal Sosiologi for Beginners, Bandung, Mizan.

[8] Lihat Keith Ward, 2003, Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu: Argumen bagi Keterciptaan Alam Semesta, Bandung, Mizan.
[9] Lihat Kompas, 2002, Sejarah Internet. Melalui http://www.geocities.com/ardiztool/sejarah_internet.html di download tanggal 29 September 2006.
[10] Lihat Wikipedia, Internet. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Internet diakses tanggal 29 September 2006.

[11] Kompas, Op.Cit.
[12] Dikutip dari Wikipedia, Cyberculture. Melalui http://en.wikipedia.org/wiki/cyberculture.htm didownload tanggal 28 September 2006.
[13] Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, menggunakan istilah habitus untuk menggambarkan segmentasi dan permainan ruang di dalam masyarakat. Menurut Bourdieu berkaitan dengan situasi, aksi, prosedur, praktik-praktik keseharian yang mengikuti jenis dan gaya hidup tertentu. Habitus menempatkan posisi seorang individu di dalam dunia kemasyarakatan (gender, kelas, ras, status—identitas). Lihat Idi Subandy Ibrahim (ed.), 2000, Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia,iYogyakarta, Jalasutra. Hal. 325-326.
[14] Lihat Amradani, Op.Cit.
[15] Lihat Michael Focault, 2002, Power/Knowlwdge: Wacana Kuasa/Pengetahuan, Yogyakarta, Bentang.
[16] Lihat Sherry Turkle, 1997, Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet, Simon & Scuster.
[17] Lihat Jean Baudrillard, Op.Cit.
[18] Lihat Amradani, Op.Cit.
[19] Lihat Mark Soluka, Op.Cit.
[20] Plato, Op.Cit
[21] Lihat Alfathri Aldin, 2006, Hierarki Realitas. Melalui http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/082006/12/khazanah/lain01.htm diakses tanggal 30 September 2006.

[22] Alfathri Aldin, Op.Cit.
[23] Lihat Baudrillard, 1981, Simulation, New York, Semiotext(e). Hal. 12. Atau lihat juga Yasraf Amir Piliang, Op.Cit., hal. 57
[24] Lihat Yasraf Amir Piliang, Op. Cit.
[25] Ibid, hal. 53.
[26] Lihat Jostein Gaarder, 1999, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, Bandung, Mizan.
[27] Lihat Antariksa, Djudjur T. Susila dan Nuraini Juliastuti, Net Art: Sebuah Penyelidikan Awal. Melalui http://kunci.or.id/misc/a_netart.htm diakses tenggal 29 September 2006.
[28] Lihat Mark Soluka, Op. Cit.
[29] Lihat Nurul Hidayah, Menyibak Bahaya Kesadaran Pascaruang. Melalui http://www.kompas.com/kompas-cetak/0105/28/dikbud/meny28.htm diakses tanggal 29 September 2006.
[30] Ibid. Hal. 97
[31] Richard Osborne dan Borin Van Loon, Op.Cit. Hal. 172
[32] Jeff Zalesky, Op Cit.
[33] Jean Baudrillard. Op.Cit.
[34] Jeff Zalesky. Op Cit.
[35] Lihat Yasraf Amir Piliang, Op.Cit. Hal. 114

Label:

1 Komentar:

Blogger Unknown mengatakan...

terimakasih infonya,,,saya tunggu info selanjutnya

30 Maret 2015 pukul 18.55  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda